Kasus Letter of Credit
Sebelum pecahnya Perang Teluk Kedua,
Perusahaan Naijing menjual 2000 ton plastik ethotic (senilai 2,18 juta USD)
untuk sebuah perusahaan Singapura. Setelah kontrak itu disegel, penjual
menerima letter of credit dari pembeli dan kemudian membuat pengiriman menurut
artikel kontrak. Apa yang tak terduga adalah bahwa Perang Teluk tidak mengatur
harga dari produk minyak melonjak, sebaliknya, harga anjlok. Setelah menerima
barang, pembeli mengklaim bahwa barang rusak, karena itu, meminta pemotongan
harga 200 dolar. Jika tidak, mereka akan menolak untuk membayar. Namun, bila
pembeli mengajukan surat tersebut ke bank, tidak ada konsistensi dalam surat
kredit. Dan bank tidak menolak dokumen atau menolak membayar hingga 11 hari
kemudian. Dan menurut situasi di atas, pembeli memilih untuk menuntut bank, dan
sebagai hasilnya, Mahkamah Agung aturan Singapura mendukung penjual.
- Buyer : Perusahaan Singapura
- Seller :
Perusahaan Naijing
- Barang yang dibuat transaksi : 2000 ton plastik ethotic (senilai 2,18 juta USD)
- Pembayaran : Sesuai dengan kontrak yang sudah disegel
- Pengiriman barang : Barang dikirim menurut perjanjian dari artikel kontrak menggunakan kapal.
- Issuing Bank : Bank of China di naijing
- Advising Bank : Bank Singapura
- Pengiriman dilakukan melalui: jalur laut.
- Document yang dikeluarkan penjual : Document yang dikeluarkan adalah document kontrak perjanjian, letter of credit, dan document pengiriman.
Analisis dari kasus ini:
- Dalam situasi diatas pembeli tidak menuntut penjual melainkan menuntut bank. Dan hasil dari mahkamah agung singapura juga menunjukan mendukung penjual. Berarti penjual tidak harus menanggung resiko tersebut.
- Bank harus memproses dan memeriksa dokumen. Bank tidak bisa menolak untuk tidak membayar, karena berdasarkan dokumen pada saat perjanjian dan untuk konsistensi isi surat bank harus membayar dengan harga yang sudah ditentukan saat membeli. Sehingga bank harus tetap menanggung dan membayar.